STORY DANA MBOJO

Hasil gambar untuk keunikan kota bima 

SEJARAH DAERAH BIMA (MBOJO)
Bima adalah sebuah kota otonom yang terletak di pulau sumbawa bagian timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. 
Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah mengalami perjalanan panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut Legenda sebagaimana termaktub dalam Kitab BO (Naskah Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima), kedatangan salah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di Pulau Satonda merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi permulaan masa pembabakan di Zaman Pra Sejarah tanah ini. Pada masa itu, wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut Ncuhi. Nama para Ncuhi terilhami dari nama wilayah atau gugusan pegunungan yang dikuasainya.
Ada lima orang ncuhi yang tergabung dalam sebuah Federasi Ncuhi yaitu, Ncuhi Dara yang menguasai wilayah Bima bagian tengah atau di pusat Pemerintah. Ncuhi  Parewa menguasai wilayah Bima bagian selatan, Ncuhi Padolo menguasai wilayah Bima bagian Barat, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian Timur, dan Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah Utara. Federasi tersebut sepakat mengangkat Sang Bima sebagai pemimpin. Secara De Jure, Sang Bima menerima pengangkatan tersebut, tetapi secara de Facto ia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Ncuhi Dara untuk memerintah atas namanya.
Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang Bima yang bernama Indra Zamrud dan Indra Komala datang ke tanah Bima. Indra Zamrut lah yang menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat itu Bima memasuki Zaman Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah kerajaan besar yang sangat berpengaruh dalam percaturan sejarah dan budaya Nusantara. Secara turun temurun memerintah sebanyak 16 orang raja hingga akhir Abad 16. 
Fajar islam bersinar terang di seluruh Persada Nusantara antara abad 16 hingga 17 Masehi. Pengaruhnya sagat luas hingga mencakar tanah Bima. Tanggal 5 Juli 1640 Masehi menjadi saksi dan tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota La Ka’i yang bergelar Rumata Ma Bata Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir (kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang). Sejak saat itu Bima memasuki peradaban kesultanan dan memerintah pula 15 orang sultan secara turun menurun hingga tahun 1951.
Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga abad lamanya. Sebagaimana ombak dilautan, kadang pasang dan kadang pula surut. Masa-masa kesultanan mengalami pasang dan surut disebabkan pengaruh imperialisme dan kolonialisme yang ada di Bumi Nusantara. Pada tahun 1951 tepat setelah wafatnya sultan ke-14 yaitu sultan Muhammad Salahudin, Bima memasuki Zaman kemerdekaan dan status Kesultanan Bima pun berganti dengan pembentukan Daerah Swapraja dan swatantra yang selanjutnya berubah menjadi daerah Kabupaten.
Pada tahun 2002 wajah Bima kembali di mekarkan sesuai amanat Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan wilayah Kota Bima. Hingga sekarang daerah yang terhampar di ujung timur pulau sumbawa ini terbagi dalam dua wilayah administrasi dan politik yaitu Pemerintah kota Bima dan Kabupaten Bima. Kota Bima saat ini telah memliki 5 kecamatan dan 38 kelurahan dengan luas wilayah 437.465 Ha dan jumlah penduduk 419.302 jiwa dengan kepadatan rata-rata 96 jiwa/Km².
Sebagai sebuah daerah yang baru terbentuk, Kota Bima memiliki karakteristik perkembangan wilayah yaitu: pembangunan infrastruktur yang cepat, perkembangan sosial budaya yang dinamis, dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi. 
Sudah 13 tahun ini Kota Bima dipimpin oleh seorang Wali kota dengan peradaban Budaya Dou Mbojo yang sudah mengakar sejak jaman kerajaan hingga sekarang masih dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Kota Bima dalam kesehariannya. Baik sosial, Budaya dan Seni tradisional yang melekat pada kegiatan Upacara Adat, Prosesi Pernikahan, Khataman Qur’an, Khitanan dan lain-lain serta bukti-bukti sejarah Kerajaan dan Kesultanan masih juga dapat dilihat sebagai Situs, Kepurbakalaan dan bahkan menjadi Objek Daya Tarik Wisata yang ada di Kota Bima dan menjadi objek kunjungan bagi wisatawan lokal, nusantara bahkan mancanegara.

BUDAYA DAN CIRI KHAS DAERAH BIMA (MBOJO) 
BAHASA
Masyarakat Bima menggunakan bahasa Bima atau biasa disebut nuntu Mbojo yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Di setiap daerah yang berada di Bima memiliki logat yang berbeda-beda dan khas sehingga di Daerah Bima memiliki banyak logat yang khas dan sangat beragam, namun mereka tetap menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa Bima atau Mbojo
KESENIAN
1.             Tari Wura ‘Bongi Monca
Tari wura ‘bongi monca atau dalam bahasa Indonesia Tarian menabur beras warna kuning. Tarian Wura ‘bongi monca ini adalah tarian khas bima yang ditarikan oleh 7 atau 8 orang wanita yang cantik dan lemah gemulai dengan menggunakan pakean adat Daerah Bima dan sanggul di kepalanya. Tarian Wura ‘bongi monca ini biasa dilakukan dalam acara besar di Daerah Bima, yaitu saat acara penyambutan Raja, tamu Raja yang hadir di Istana Bima, juga acara-acara nikah.
Gerakan tarian ini sangat lembut, lemah gemulai dan penuh dengan senyuman manis para penari untuk memberikan perhatian pada tamu, dan lentingan jarinya yang lembut  menunjukkan bahwa penaburan beras kuning atau wura bongi monca ini penuh dengan tatakrama dan sopan, sebagai penyambutan yang luar biasa pada pendatang atau yang di sambutnya.
2.             Tari Lenggo
Tari lenggo adalah tarian klasik yang dulunya hanya ditarikan di Lingkingan Istana Bima. Tarian lenggo ini tidak hanya ditarikan oleh para wanita, namun tarian ini bisa ditarikan oleh laki-laki. Tarian ini apa bila ditarikan oleh wanita namanya Tari Lenggo Mbojo dan apa bila ditarikan oleh laki-laki namanya Tari Lenggo Melayu, karena gerakan tari Lenggo ini merupakan tarian dari hasil pengembangan dari Tari Lenggo Melayu.
Tari Lenggo Mbojo ini sering dit ampilkan dalam acara adat Hanta Ua Pua, yaitu upacara peringatan masuknya agama Islam di Bima, NTB. Dalam pertunjukannya, Tari Lenggo di iringi oleh musik tradisional dari Bima, yaitu gendang besar (gendang na’e), silu (sejenis serunai), gong dan tawa-tawa. Untuk mengiringi Tari Lenggo ini biasanya diiringi dengan musik berirama lembut atau pelan selaras dengan gerakan para penari.
3.             Ntumbu
Ntumbu adalah salah satu atraksi yang sering dijadikan pertunjukan di daerah Bima. Ntumbu adalah atraksi mengadu kepala yang dilakukan oleh dua orang pemain. Sebelum pertunjukan ini, pemain dibekali kekebalan terlebih dahulu yaitu dengan dido’akan oleh pemimpin pertunjukan atau yang biasa disebut guru. Untuk memungkinkan melangsungkan pertunjukan perlu adanya kepercayaan, keyakinan yang dikonsentrasikan dalam hati bagi kedua pemain dan ini akan diperoleh apabila kedua pemain telah di do’akan. Pemain membagi diri dalam dua kelompok. Kelompok yang bertahan disebut “Te’e” yang dalam bahasa Indonesianya adalah “Tahan”  dan yang menyerang disebut ” Ncora” yang dalam bahasa Indonesianya  adalah  “Tabrak”. Atraksi Ntumbu diiringi musik tradisional Bima, mula-mula pemain yang memegang dan melambaikan saputangan memberi salam kepada penonton kemudian pemanasan sebelum melakukan adu kepala.
4.             Rimpu
Rimpu merupakan sebuah budaya dalam dimensi busana pada masyarakat Bima (Dou Mbojo). Budaya “rimpu” telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam).
Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas. Rimpu ini adalah pakaian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, bagi perempuan yang belum menikah, dia akan menggunakan rimpu dengan menutup wajahnya dan hanya matanya yang kelihatan, seperti memakai cadar, namun wanita yang telh menikah, dia menggunakan rimpu sebagaimana mukenah , sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang).
5.             Kain tenun Bima
Bima, Nusa Tenggara Barat, yang memiliki kain tenun tradisional yang sudah turun temurun. Kain tersebut dinamai dengan kain Mbojo atau kain orang Bima. Kain tenun ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Bima dulu dan sering digunakan oleh kaum perempuan di sana. Kain tenun Bima atau Mbojo digunakan oleh masyarakat Bima sebagai pakaian sehari-hari pada masa kesultanan Bima. Saat itu diberlakukan peraturan adat bahwa setiap wanita yang memasuki usia remaja harus memiliki keterampilan menenun kain Bima atau Mbojo untuk pakaian mereka sendiri atau untuk dijual sebagai mata pencaharian wanita pada masyarakat Bima. Kabarnya, kain tenun Mbojo juga digunakan sebagai pakaian yang wajib dikenakan wanita muslim masyarakat Bima pada saat keluar rumah.
6.             Hanta Ua Pua
Upacara adat Hanta Ua Pua adalah upacara adat yang digelar oleh umat Islam di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu, upacara adat ini juga bertujuan untuk memperingati masuknya agama Islam ke Bima dan sekaligus menghormati para pembawa agama Islam ke daerah tersebut.
Konon, upacara adat Hanta Ua Pua telah dilaksanakan oleh kerajaan dan masyarakat Bima sejak empat abad silam. Pada saat itu, upacara resmi Kerajaan Bima ini dihelat saban tahun dan dirayakan secara besar-besaran. Bahkan, upacara sakral ini menjadi ajang silaturahmi antarsuku bangsa.
MAKANAN KHAS
Daerah Bima memiliki makanan khas yang sangat unik dan beragam. Makanan khas dari daerah Bima ini sangat menggugah selera, selain rasanya yang enak, makanan khas daerah Bima ini sangat bergizi.
1.             Uta Palumara Londe ( Bandeng Kuah)
Uta palumara londe ini bahan pokoknya adalah ikan bandeng segar yang di potong sesuai selera kita, tetapi biasanya masyarakat Bima memotong 3 atau 4 bagian. Uta palumara ini memiliki warna, rasa dan wangi yang khas karena sebelum proses pemasakan Uta palumara ini ikannya ditaburu bubuk kunyit yang membuat warna ikan ini menjadi warna kuning, rasa dan aroma uta palumara ini sangat enak dan menggugah selera karena kuah yang di gunakan saat proses pemasakan ikan ini menggunakan kuah air asam, dan setelah setengah masak, dimasukanlah daun kemangi.
2.             Uta Sepi Tumis
Uta Sepi Tumis ini bahan pokoknya adalah eby pilihan yang baru diambil dari laut lalu ditumis dengan asam muda, cabe, tomat, dan kemangi. Makanan ini paling disukai penduduk Bima. Anda wajib mencicipinya saat berkunjung ke Bima.
3.             Kahangga
Merupakan kue tradisional Bima. Bahan dasarnya terbuat dari tepung beras dan gula. Anda akan mudah mendapatkannya di Bima. Rasanya gurih dan manis, dan bisa menutupi rasa lapar Anda. Biasanya dihidangkan saat sedang ada hajatan di sana, namun karena sekarang cukup populer, Anda bisa menemukannya di pasar tradisional yang ada di sana. Harganya pun cukup murah, hanya dijual seribu rupiah per buah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RS UMM, UMM INN dan Bookstore, dan menarik dari Sengkaling Kuliner

KEUNGGULAN FAKULTAS HUKUM

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI